Banyak yang mau berubah,
tapi memilih jalan mundur.
Andakah orangnya?
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah.. Tetidur di dalam mobil. Saat
terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya:
“Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”.
Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya
pengen pipis.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti. “PakUstadz!” .
Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya
melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi
enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom
bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara
dengan dia. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan
jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.
Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini,”Ok, ntar habis dari toilet ya”.
***
“Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya membuka
percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini.
Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi
fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu.
Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya” .
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah.
Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah ga
mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu
saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga?
Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga
ibadah?”
Sekuriti itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu bisa
benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas
omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang
kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah.
Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap
nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah
tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai
ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita
menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu
shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka
yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi
kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit
ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh
sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5
nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang
‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut
perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish
shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita
bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama
saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan
sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan
mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar
ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam
andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari
semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh,
sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan
kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan
sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu
baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih
bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja
mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih begitu.
Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya,
nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he
he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga
sama lawan bicara?
Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat shalatnya,
maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di
tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha,
sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa
jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan kepada peserta KuliahOnline untuk tidak menggunakan
mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung
jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang
rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah. Jawaban terhadap
pertanyaan-pertanya an seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu satu
dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat
dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga
serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya.
Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah.
Jangan sampe keduluan Allah”.
Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di
atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang
Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini.. Kan aneh.
Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah
memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang
bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih,
wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit
pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan
fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, pegimana mau sedekah,
hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa
dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang
sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini
bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama
kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Koq bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe
ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente
kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu
dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu.
Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin
kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik.
Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan
berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin.. Ikutan semuanya
ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan
juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan
cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi
sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya
menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal
itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo saya unjukin
bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”. Si
sekuriti mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?” .
Sekuriti ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya,
manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup pegimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi
usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga
perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya.
Trmasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan
tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al
Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat
Jum’at aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia
aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya
hanya menjadi sekuriti sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi!
Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan
posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya
begitu dah hidup.. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang penting kerja
dan ada gajinya.
Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu
keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa
juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita
barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja
harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah
ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan
tingginya harga,. Ga kebagian.
***
Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat
apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol. Satu
koma tujuh. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini jawab
dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama
ownernya ini pom bensin.. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan
30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui.
Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata
komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita
si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan
saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti oleh
bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah pemikiran
kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah bersama Allah
melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul
shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya.
Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah
dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si
sekuriti ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya.. Malah tambah cerah muka
nya.
Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia
tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan
kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan
catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya
demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal
diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si
sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang
belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah
pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan
mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon
saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia
gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka,
kalau kemudian kas bon. Percuma”.
Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon.
Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak
kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor. Bukan
dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan
yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian.
Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo
ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si
sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.
Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia benahin shalatnya, dan dia
sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya
di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada
transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara
fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya,
dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia
sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di
kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan
kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti
bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama
Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya
melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor,
kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia
tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya
25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta
lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia
aman. Ga perlu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan
menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama
1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si sekuriti?
Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut
sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang
lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya
Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang
Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman
seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja
menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!
Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru
sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama
dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya,
buat perubahan hidupnya.
Subhaanallaah, masya Allah.
Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar
sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya
kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak
suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai
sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.
Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar.
Pertanyaan ini juga layak juga diajukan kepada Peserta KuliahOnline yang
saat ini mengikuti esai ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah?
Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya?
Bisa kah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya
juga buat saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya. Semua orang
punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua peserta KuliahOnline saja
ada yang insya Allah saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup
ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan sebagiannya lagi memilih
menceritakan ini kepada satu dua orang saja, dan hanya orang-orang tertentu
saja yang memilih untuk benar-benar terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan
apa-apa, ketika sudah dipublish, memang tidak gampang buat seseorang
menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.
Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini
mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja kisah
ini. Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak,
sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah
dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal
saleh. Persis seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan statement esai
penutup.
Kepada Allah semua kebenaran dan niat dikembalikan. Salam saya buat keluarga
dan kawan-kawan di sekeliling saudara semua. Saya merapihkan tulisan ini di
halaman parkir rumah sakit Harapan Kita.. Masih di dalam mobil. Sambil
menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya, Muhammad Yusuf al
Haafidz akan pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya. Terima kasih banyak
atas doa-doanya dan perhatiannya. Mudah-mudahan allah membalas amal baik
saudara semua.
Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit sedikit. Ini juga
tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan tulisan. Tapi ya Allah
jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.
Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit untuk berubah. Lalu
saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat pendahuluan ini
saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir, esai ini saja sudah
kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai berikutnya. Saya berhutang
banyak kepada saudara semua.. Di antaranya, saya jadi ikut belajar.
Semalam saya ikutan tarawih di pesantren Daarul Qur’an internasional. Sebuah
pesantren yang dikemas secara modern dan internasional. Tapi tarawihnya
dijejek 1 juz sekali tarawih. Masya Allah, semua yang terlibat, terlihat
menikmati. Ga makmumnya, ga imam-imamnya, ga para tamu dan wali santri yang
ikut. Semua menikmati. Jika ada di antara peserta KuliahOnline yang pengen
ikutan tarawih 1 juz ini, silahkan datang saja langsung ya. Insya Allah saya
usahakan ada. Sebab saya juga kebagian menjadi salah satu imam jaganya. Ya,
kondisi-kondisi begini yang saya demen. Saya kurangin jadwal, tapi masih
tetep bisa ngajar lewat KuliahOnline ini. Dan saya masih sempet mengkader
ustadz-ustadz muda untuk diperjalankan ke seantero negeri. Sementara saya
akhirnya bisa mendampingi para santri dan guru-guru memimpin dan
mengembangkan pesantren Daarul Qur’an ini.
Ok, kelihatannya matahari sudah mulai kelihatan. Saya baru pulang juga
langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba’da shubuh tadi. Istri saya
meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya juga tiada henti
mendoakan saudara dan jamaah semua.
Sumber