Dengan Menyebut Nama ALLAH Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

Ya ALLAH, Jadikanlah Segala Fikiran Tindakan dan Perbuatan Kami menjadi Ibadah Kepada-MU ya ALLAH. Amin

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Manusia Berhak Atas Nikmat Allah


Ketika kita mendapatkan sebuah hasil yang baik, kadang terlintas dalam benak kita bahwa itu memang sudah semestinya dan adalah hak kita mendapatkannya karena kita telah membuat perencanaan, pengorganisasian, lalu bekerja keras melakukannya. Benarkah seperti itu?

Sebab tidak datangnya pertolongan, hidayah, atau nikmat yang sempurna adalah karena seseorang sebagai media bertempatnya pertolongan tersebut memang tidak pantas mendapatkan pertolongan dan nikmat. Di mana seandainya nikmat mendatanginya ia akan mengatakan: “Ini memang hakku, aku mendapatkannya karena aku memang pantas dan aku memang berhak.” Seperti Allah l ceritakan:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Maksudnya, “Bahwa saya mengetahui Allah l memang tahu bahwa saya berhak mendapatkannya dan pantas.”
Al-Farra` menerangkan bahwa maksudnya: “Aku mendapatkannya karena aku memang punya kelebihan, bahwa aku memang pantas dan berhak terhadap nikmat tersebut di mana Engkau memberikannya kepadaku.”
Muqatil menerangkan, dia mengatakan: “(Maksudnya) itu karena kebaikan yang Allah l ketahui ada pada diriku.”
Abdullah bin Al-Harits bin Naufal (seorang shalih yang sempat melihat Nabi di masa kecilnya), ia menyebutkan tentang (Nabi) Sulaiman bin Dawud dan kerajaan yang diberikan kepadanya. Lalu ia membaca ayat:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Maksudnya, “Bahwa saya mengetahui Allah l memang tahu bahwa saya berhak mendapatkannya dan pantas.”
Al-Farra` menerangkan bahwa maksudnya: “Aku mendapatkannya karena aku memang punya kelebihan, bahwa aku memang pantas dan berhak terhadap nikmat tersebut di mana Engkau memberikannya kepadaku.”
Muqatil menerangkan, dia mengatakan: “(Maksudnya) itu karena kebaikan yang Allah l ketahui ada pada diriku.”
Abdullah bin Al-Harits bin Naufal (seorang shalih yang sempat melihat Nabi di masa kecilnya), ia menyebutkan tentang (Nabi) Sulaiman bin Dawud dan kerajaan yang diberikan kepadanya. Lalu ia membaca ayat:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Yakni, Nabi Sulaiman q memandang apa yang Allah l berikan kepadanya merupakan keutamaan Allah l dan karunia-Nya kepadanya dan bahwa Allah l dengan itu tengah mengujinya sehingga beliau mensyukurinya. Adapun Qarun, ia memandang bahwa pemberian itu karena dirinya sendiri dan ia memang berhak terhadap pemberian itu.
Demikian pula seperti terdapat dalam firman Allah l:
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: ‘Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Rabbku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya’. Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras.” (Fushshilat: 50)
Yakni maksudnya, “Aku berhak mendapatkannya dan aku pantas. Jadi hakku terhadapnya seperti hak seorang pemilik barang terhadap barangnya.”
Adapun seorang mukmin, ia memandang bahwa itu merupakan milik Rabbnya, kebaikan dari Allah l yang Dia karuniakan kepada hamba-Nya tanpa hamba tersebut memiliki hak terhadapnya. Bahkan itu merupakan sedekah Allah l yang Allah l sedekahkan kepada hamba-Nya. Dan bila Allah l berkehendak, maka merupakan hak-Nya untuk tidak menyedekahkannya. Seandainya Dia menghalangi sedekah tersebut kepadanya, tidak berarti Allah l menghalanginya dari sesuatu yang ia berhak mendapatkannya. Bila ia tidak merasa demikian, ia akan merasa bahwa dirinya pantas dan berhak, sehingga ia merasa takjub dengan dirinya. Dengan nikmat itu, ia menjadi melampaui batas dan sombong serta lancang terhadap yang lain. Sehingga itu membuatnya senang dan bangga. Seperti yang Allah l ceritakan:
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: ‘Telah hilang bencana-bencana itu dariku’; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.” (Hud: 9-10)
Allah l cela dia karena sikap putus asa dan ingkarnya saat ujian dengan kesusahan dan Allah l cela dia karena sikap senang dan bangganya saat ujian dengan nikmat, ia tukar pujiannya kepada Allah l, syukur dan sanjungannya kepada-Nya saat Allah singkap darinya cobaan dengan ucapannya: “Musibah telah hilang dariku.” padahal seandainya ia mengatakan: “Allah l telah hilangkan musibah dariku dengan rahmat dan karunia-Nya”, tentu Allah l tidak akan cela dia bahkan ia terpuji dengan ucapan seperti itu. Namun ia telah lalai dari Sang Pemberi nikmat yang menyingkap musibahnya serta menganggap musibah itu hilang dengan sendirinya lalu ia berbangga dan senang.
Bila Allah l telah ketahui hal semacam ini dari seorang hamba maka itu merupakan sebab terbesar akan terabaikannya dari pertolongan dan ketidakpedulian Allah l, karena nikmat yang sempurna tak pantas bertempat padanya, sebagaimana firman Allah l:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (Al-Anfal: 22-23)
Allah l beritakan bahwa mereka sebagai media bertempatnya nikmat tidak dapat menerima nikmat tersebut. Di samping tidak menerima, mereka juga memiliki penghalang lain yang menghambat sampainya nikmat itu kepada mereka yaitu berpalingnya mereka dari kebaikan tersebut bila mereka benar-benar mengetahuinya.
Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebab-sebab terabaikannya seseorang dari pertolongan atau hidayah, di samping tetapnya jiwa pada penciptaan asalnya lalu dibiarkannya pada keadaan yang demikian, juga memang ada dari dan dalam dirinya.
Sementara sebab datangnya taufiq dari Allah l adalah karena Allah l ciptakan dirinya siap untuk menerima nikmat. Sehingga sebab-sebab taufiq itu dari Allah  l dan merupakan karunia dari-Nya. Dialah penciptanya, dan Allah Maha Hikmah lagi Maha Tahu.
(diterjemahkan dan diringkas oleh Qomar ZA dari kitab Al-Fawa`id karya Ibnul Qayyim t, hal. 227-229)

Islam Agama Yang Sempurna


Allah l menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.

Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang sahih jumlahnya amatlah sedikit.
Seperti inilah kondisi umat Islam. As-Sunnah (ajaran Nabi n) sudah semakin asing sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As-Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As-Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As-Sunnah bagaikan barang langka.
Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah l:
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah l:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul’.” (al-Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah l kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku.
Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah l. (al-I’tisham, 1/49—51)

Jenis-Jenis Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi t menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
1. Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).
2. Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Salah satunya, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah menyusupkan suatu perkara dari diri mereka kemudian mengubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai contoh adalah zikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya zikir adalah amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah n, maka ini dikatakan bid’ah.
Begitu pula bid’ah perayaan Maulid Nabi n. Pada hakikatnya, mencintai Nabi Muhammad n adalah wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia menjadikan Rasulullah n orang yang paling dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya, atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan menaatinya, melaksanakan segala perintahnya, menjauhi larangannya, serta membenarkan seluruh berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau n telah melarang umatnya dari kebid’ahan.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah z)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah x)
Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para al-Khulafa ar-Rasyidin, sahabat Rasulullah n yang lain, ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan, mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah x bintu Rasulullah n.
Ada pula yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir.
Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsip dan sangat penting untuk diketahui dalam Islam) yang telah diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam. Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat, puasa, dan lain-lain), menghalalkan apa yang diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah l dan Rasul-Nya n serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al-Qur’an atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah n. Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para sahabat yang masih hidup ketika itu, namun mereka tidak mengafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.

Larangan Berbuat Bid’ah
Dari keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah mengikuti Sunnah Rasulullah n dan jamaah (bersatu), baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih serta atsar (ucapan) para ulama salaf (baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in).
Allah l berfirman:
“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah! Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara. Dan (ingatlah) ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah l:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang mau mengambil pelajaran.” (al-A’raf: 3)
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Kalau kalian menaatinya (Nabi Muhammad) niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
“Maka tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dan Rasulullah n bersabda:
أُوصِيْكُم بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُم فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالَّنوَاجِذِ وَإِياَّكُم وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah l, mendengar dan menaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnah (jalan atau cara hidup)-ku dan sunnah para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, serta gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah z)
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad n. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Muslim dari Jabir z)
‘Abdullah bin ‘Ukaim z menyebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab z pernah mengatakan, “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah firman Allah l. Dan sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad n. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap kebid’ahan adalah sesat, dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud z menyebutkan, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (al-Ibanah 1/327—328, al-Lalikai 1/86)
‘Abdullah bin ‘Umar c mengatakan, “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (al-Ibanah 1/339, al-Lalikai 1/92)
Al-Imam Malik bin Anas t mengatakan, “Barang siapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah l telah menyatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.’ (al-Maidah: 3)
Maka apa pun yang ketika itu (di zaman Rasulullah n dan para sahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam asy-Syaukani t menyebutkan, “Sesungguhnya apabila Allah l menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya n, maka apa gunanya lagi segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah l menyempurnakan agama-Nya ini?! Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al-Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka dari itu, jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah untuk mematahkan segala hujjah mereka.” (al-Qaulul Mufid hlm. 38, dinukil dari al-Luma’)
Wallahu a’lam.


Yusuf Mansur vs Sekuriti Pom Bensin




Banyak yang mau berubah,
tapi memilih jalan mundur.

Andakah orangnya?

Satu hari saya jalan melintas di satu daerah.. Tetidur di dalam mobil. Saat
terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya:
“Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”.
Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya
pengen pipis.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti. “PakUstadz!” .
Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya
melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi
enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom
bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara
dengan dia. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan
jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.
Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini,”Ok, ntar habis dari toilet ya”.

***

“Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya membuka
percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini.
Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi
fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu.
Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya” .
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah.
Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah ga
mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu
saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga?
Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga
ibadah?”
Sekuriti itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu bisa
benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas
omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang
kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah.
Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap
nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah
tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai
ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita
menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu
shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka
yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi
kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit
ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh
sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5
nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang
‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut
perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish
shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita
bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama
saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan
sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan
mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar
ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam
andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari
semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh,
sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan
kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan
sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu
baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih
bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja
mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih begitu.
Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya,
nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he
he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga
sama lawan bicara?
Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat shalatnya,
maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di
tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha,
sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa
jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan kepada peserta KuliahOnline untuk tidak menggunakan
mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung
jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang
rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah. Jawaban terhadap
pertanyaan-pertanya an seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu satu
dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat
dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga
serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya.
Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah.
Jangan sampe keduluan Allah”.
Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di
atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang
Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini.. Kan aneh.
Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah
memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang
bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih,
wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit
pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan
fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, pegimana mau sedekah,
hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa
dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang
sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini
bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama
kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Koq bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe
ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente
kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu
dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu.
Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin
kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik.
Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan
berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin.. Ikutan semuanya
ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan
juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan
cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi
sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya
menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal
itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo saya unjukin
bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”. Si
sekuriti mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?” .
Sekuriti ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya,
manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup pegimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi
usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga
perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya.
Trmasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan
tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al
Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat
Jum’at aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia
aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya
hanya menjadi sekuriti sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi!
Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan
posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya
begitu dah hidup.. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang penting kerja
dan ada gajinya.
Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu
keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa
juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita
barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja
harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah
ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan
tingginya harga,. Ga kebagian.

***

Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat
apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol. Satu
koma tujuh. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini jawab
dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama
ownernya ini pom bensin.. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan
30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui.
Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata
komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita
si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan
saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti oleh
bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah pemikiran
kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah bersama Allah
melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul
shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya.
Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah
dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si
sekuriti ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya.. Malah tambah cerah muka
nya.
Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia
tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan
kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan
catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya
demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal
diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si
sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang
belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah
pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan
mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon
saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia
gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka,
kalau kemudian kas bon. Percuma”.
Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon.
Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak
kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor. Bukan
dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan
yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian.
Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo
ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si
sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.
Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia benahin shalatnya, dan dia
sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya
di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada
transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara
fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya,
dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia
sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di
kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan
kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti
bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama
Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya
melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor,
kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia
tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya
25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta
lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia
aman. Ga perlu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan
menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama
1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si sekuriti?
Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut
sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang
lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya
Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang
Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman
seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja
menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!
Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru
sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama
dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya,
buat perubahan hidupnya.
Subhaanallaah, masya Allah.
Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar
sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya
kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak
suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai
sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.
Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar.
Pertanyaan ini juga layak juga diajukan kepada Peserta KuliahOnline yang
saat ini mengikuti esai ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah?
Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya?
Bisa kah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya
juga buat saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya. Semua orang
punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua peserta KuliahOnline saja
ada yang insya Allah saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup
ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan sebagiannya lagi memilih
menceritakan ini kepada satu dua orang saja, dan hanya orang-orang tertentu
saja yang memilih untuk benar-benar terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan
apa-apa, ketika sudah dipublish, memang tidak gampang buat seseorang
menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.
Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini
mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja kisah
ini. Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak,
sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah
dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal
saleh. Persis seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan statement esai
penutup.
Kepada Allah semua kebenaran dan niat dikembalikan. Salam saya buat keluarga
dan kawan-kawan di sekeliling saudara semua. Saya merapihkan tulisan ini di
halaman parkir rumah sakit Harapan Kita.. Masih di dalam mobil. Sambil
menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya, Muhammad Yusuf al
Haafidz akan pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya. Terima kasih banyak
atas doa-doanya dan perhatiannya. Mudah-mudahan allah membalas amal baik
saudara semua.
Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit sedikit. Ini juga
tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan tulisan. Tapi ya Allah
jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.
Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit untuk berubah. Lalu
saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat pendahuluan ini
saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir, esai ini saja sudah
kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai berikutnya. Saya berhutang
banyak kepada saudara semua.. Di antaranya, saya jadi ikut belajar.
Semalam saya ikutan tarawih di pesantren Daarul Qur’an internasional. Sebuah
pesantren yang dikemas secara modern dan internasional. Tapi tarawihnya
dijejek 1 juz sekali tarawih. Masya Allah, semua yang terlibat, terlihat
menikmati. Ga makmumnya, ga imam-imamnya, ga para tamu dan wali santri yang
ikut. Semua menikmati. Jika ada di antara peserta KuliahOnline yang pengen
ikutan tarawih 1 juz ini, silahkan datang saja langsung ya. Insya Allah saya
usahakan ada. Sebab saya juga kebagian menjadi salah satu imam jaganya. Ya,
kondisi-kondisi begini yang saya demen. Saya kurangin jadwal, tapi masih
tetep bisa ngajar lewat KuliahOnline ini. Dan saya masih sempet mengkader
ustadz-ustadz muda untuk diperjalankan ke seantero negeri. Sementara saya
akhirnya bisa mendampingi para santri dan guru-guru memimpin dan
mengembangkan pesantren Daarul Qur’an ini.
Ok, kelihatannya matahari sudah mulai kelihatan. Saya baru pulang juga
langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba’da shubuh tadi. Istri saya
meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya juga tiada henti
mendoakan saudara dan jamaah semua.

Sumber

1 Gelas Air = 1 Juta Pound



Penulis terkenal kebangsaan Mesir yang bernama Mustafa Amin, dimana beliau adalah salah satu yang dijebloskan ke dalam penjara di masa pemerintahan Gamal Abdul Naser pada tahun 1965, menceritakan kisahnya saat berada di dalam penjara.

Ia berkata, “Di antara bentuk penganiayaan yang ditetapkan pemerintah pada saat itu adalah melarang penghuni penjara makan dan minum. Larangan untuk makan sangatlah menyakitkan, walaupun masih memungkinkan untuk bertahan, akan tetapi haus adalah siksaan yang tidak mungkin bisa ditanggung, khususnya di bulan-bulan musim panas dengan derajat panas yang tinggi sekali
Selain itu saya mempunyai penyakit gula, yang mengharuskan saya banyak minum. Di hari pertama pelarangan ini, saya masuk kamar kecil, di sana saya mendapatkan tempat air yang berisi air untuk istinja’, kemudian saya minum air tersebut sampai habis, dan sebagai ganti untuk istinja’, saya gunakan tissu toilet. Dengan semakin bertambahnya rasa hausku, saya terpaksa minum air kencing. Sampai di hari ketiga, saya tidak mendapatkan air kencing untuk saya minum.

Saya sangat haus, saya merasakan siksaan yang sangat pedih. Kemudian, saya berjalan-jalan di dalam sel saya sehingga nampak seperti orang gila. Lidah dan tenggorokan saya kering. Terkadang saya menunduk ke lantai dengan harapan semoga sipir penjara terlupa dan menyisakan setetes air ketika mereka mengepel lantai!!

Setelah itu saya merasakan bahwa saya hampir binasa, dalam kondisi seperti itu saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan, saya kuras pikiranku, sampai saya terhuyung-huyung, ketika itu aku malihat bahwa pintu sel dibuka dengan perlahan-lahan, dan dalam kegelapan saya perhatikan ada tangan seseorang mengulurkan segelas air dingin. Saya tergoncang, terbayang seolah-olah aku telah gila? Aku mulai melihat bayangan orang itu, ah … tidak mungkin ini air … ini hanyalah fatamorgana. Kemudian, saya ulurkan tangan dan saya benar-benar menyentuh gelas tersebut, ternyata sedingin es. Saya melihat pembawa gelas tadi meletakkan jarinya di atas bibirnya, seolah-olah ia berkata kepada saya, ‘Janganlah kamu bicara’.

Saya minum air tersebut, akan tetapi ia sangat berbeda dengan air yang pernah saya minum selama ini, ia adalah air yang paling nikmat yang pernah saya minum di dalam kehidupan saya sebelumnya. Kalau seandainya pada waktu itu aku memegang uang satu juta pound (junaih), niscaya aku berikan kepada sipir yang tidak kukenal ini.

Minum air segelas tersebut membuat ruh saya seakan kembali ke tubuh dan tidak perlu lagi makan karena kenyang. Bahkan, lebih dari itu, aku merasa tidak perlu dikeluarkan dari penjara. Saya merasakan kebahagiaan yang belum pernaha saya rasakan selama hidup saya, semua itu disebabkan segelas air yang dingin.

Setelah itu, sipir pergi dengan cepat seperti kedatangannya tadi dan menutup pintu sel dengan perlahan. Saya melihat bayangan sipir, ia adalah pemuda yang berkulit coklat dan berbadan pendek. Akan tetapi, saya merasakan ia seperti malaikat. Saya melihat langsung pertolongan ALlah di sel penjara.

Hari yang penuh siksaan terus berjalan, tanpa pernah lagi melihat sipir yang tidak saya kenal itu. Kemudian, saya dipindahkan ke ruangan penyiksaan di lantai dasar penjara. Setiap hari melihat sipir yang tidak saya kenal itu berdiri di hadapan saya. Ketika itu saya hanya berdua. Saya bertanya dengan perlahan-lahan kepadanya, ‘Kenapa engkau lakukan perbuatan itu? Kalau mereka mengetahuinya tentu memecatmu’.

Dengan menyunggingkan senyum, ia menjawab, ‘Hanya memecat saya!? Bahkan, mereka akan membunuh saya dengan menembakkan senjata?’
Saya bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal yang berbahaya itu?

Ia menjawab, ‘Sesungguhnya saya mengenal anda, namun anda tidak mengenal saya. Kira-kira 9 tahun yang lalu, seorang petani dari Giza mengirim surat kepada anda, yang isinya menceritakan bahwa ia adalah seorang petani yang tinggal di sebuah perkampungan, dalam hidupnya ia sangat menginginkan membeli seekor sapi. Akan tetapi, setelah 6 bulan sapi yang berhasil dibelinya tersebut mati. Beberapa bulan setelah itu, yakni pada malam-malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, tiba-tiba pintu rumah yang sempit kepunyaan petani itu diketuk, dan datanglah utusan dari harian koran anda, Akhbarul Yaum, sambil memegang tali yang mengikat seekor sapi di belakangnya. Ketika itu koran harian Akbarul Yaum selalu mewujudkan beratus-ratus impian para pembacanya di malam-malam Lailatul Qadar di setiap tahunnya’.

Sipir itu terdiam sebentar, kemudian ia berkata, ‘Petani yang telah Anda kirimi seekor sapi kepadanya 9 tahun yang lalu adalah ayahku’.

Bukankah telah aku katakan kepada kalian tadi bahwa pertolongan Allah menyertaiku saat aku di dalam sel penjara?!

Demikianlah perbuatan baik yang telah dilakukan seorang penulis sejak 9 tahun yang lalu terhadap seorang petani telah membuahkan hasil dan bisa menyelamatkan hidup sang penulis (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala). Segelas air di saat-saat ujian yang berat sekali lebih berharga dan lebih nikmat dari segala yang ada didunia.

Oleh karena itu, jadikanlah dalam beramal ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Menginfakkan harta di jalan kebaikan, pasti akan mendapatkan balasan walaupun setelah lama berlalu masanya. Terkadang balasan perbuatan baik itu akan berlipat ganda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah: 272, yang artinya:

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Janganlah kamu membelanjakan sesuatu, melainkan karena mencari keridhaan Allah. Apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan). ”

Sumber

ABU THALHAH AN-ANSHARI – MAHARNYA IALAH MASUK ISLAM




Zaid bin Sahal an-Najjary alias Abu Thalhah mengetahui bahwa perempuan bernama Rumaisha” binti Milhan an-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.

Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena, Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya tidak seorang pun laki-laki lain yang akan berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial tinggi, dan kaya raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.

Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalan ia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Mekah, Mush’ab bin Umair. Lalu, Ummu Sulaim beriman dengan Muhammad dan menganut agama Islam. Tetapi, setelah berpikir demikian, dia berkata kepada dirinya, “Hal ini tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan, suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya”.

Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin untuk masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.

Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, wahai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”

Abu Thalhah mengira Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.

Kata Abu Thalhah , “Demi Allah! Apakah yang sesungguhnyayang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”

Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada, selain itu.”

Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning ataukah yang putih…? Emas atau perak?”

Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak…?”

“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.

Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu Thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak, cukuplah emas itu menjadi mahar bagiku.”

Mendengar ucapan dari Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangan-bangan kaumnya, Bani Najjar.

Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Talhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong melihat berhala sesembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, “Tidak tahukah Anda, wahai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.

“Ya, Betul!” jawab Abu Thalhah.

“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.

“Siapakah yang harus mengislamkanku?” Tanya Abu Thalhah.

“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.

“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.

“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadah! Saksikan tidak ada ilah yang haq selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim menjelaskan.

Abu Thalhah tampak gembira. Lalu, dia mengucapkan dua kalimat syahadah. Sesudah itu Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata, “Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar kawin Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam”.

Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankan untuk berkhidmat kepada Islam.

Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk kelompok tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah. Abu Thalhah ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan itu, tidak urung pula Abu Thalhah mendapatkan cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi, cobaan yang paling besar diderita Abu Thalhah ialah ketika berperang bersama Rasulullah dalam Perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya!

Abu Thalhah mencintai Rasulullah sepenuh hati, sehingga perasaan cintanya itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tidak pernah merasa bosan mendengar hadits-hadits beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah dariku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda.”

Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum muslimin terpecah-belah. Mereka lari kocar-kacir dari samping Rasulullah . Oleh karena itu, kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi, dan bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah wafat.

Mendengar teriakan itu, kaum muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentara muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan tali anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.

Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena panah musuh. “Demi Allah, janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah . Jadikan aku menjadi perisai Anda,” ujarnya mantap.

Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah sambil membawa kantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. Kata beliau, “Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!” Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah sehingga tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.

Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada dibawah pengawasan-Nya sampai pertemuan usai.

Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fi sabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahnya subur, dan airnya manis.

Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan sebatang nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tidak lepas dari burung itu.

Ketika menyadari bahwa ia sedang shalat, dia lupa sudah berapa rakaat shalatnya. Dua atau tiga rakaatkah dia tak ingat. Selesai shalat dia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kepada beliau peristiwa yang baru dialaminya dalam shalatnya. Diceritakannya pula kepada beliau pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia sedang shalat.

Kemudian katanya, “Saksikan wahai Rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya.”

Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan, dia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah.

Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.

Kata anak-anaknya, “Wahai Bapak kami!” Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama Rasulullah , Abu Bakar, dan Umar bin Khaththab. Kini Bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk Bapak.”

Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman, yang artinya, ”Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”

Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.

Ketika Abu Talhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan Abu Thalhah. Tetapi, enam hari setelah wafatnya, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal tanpa berubah sedikit pun jua. Bahkan, dia layaknya seperti orang yang tidur nyenyak saja.

Sumber

YA, RASULULLAH! SEANDAINYA SAYA TIDAK BUTA, TENTU SAYA PERGI BERPERANG




Abdullah bin Umar bin Syuraikh, seorang sahabat asal Quraisy ini termasuk peserta hijrah ke Madinah rombongan pertama. Beliau sampai di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Beliau meninggal dalam peperangan Qadisiah membawahi sebuah brigade.

‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Yaitu anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwanullah ‘Alaiha. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar “Umi Maktum” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total.

‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah? Tidak……! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan Kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majelis Rasulullah.

Begitu rajin dia mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Qur’an, sehingga setiap waktu senggang selalu disinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu disebutnya. Bahkan dia sangat rewel. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain-lain juga.

Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid.

Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an.

Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”

Rasul yang mulia terlengah memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh kepada interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.

Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau: “Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. ‘Abasa : 1 – 16).

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!

Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi maktum bergegas meninggalkan tumpah-darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama sama Mush’ab bin Umar sahabat-sahabat Rasul yang pertama-tama tiba di Madinah, setibanya di Yatsrib (Madinah), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengajarkan pengajaran Isalam.

Setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan, maka Bilal qamat.

Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.

Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi maktum, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada ‘Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.

Setelah perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”

Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang udzur sepertiku!” Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.

Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, “aku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, hai Zaid!”

Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…..” (An-Nisaa : 95).

Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?”

Selesai pertanyaan ‘Abdullah, Rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”

Aku membaca , “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang).” lalu kata beliau. Tulis! “Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.

Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang udzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Maka karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.

Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.” Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. ‘Umar memerintahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”

Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah ‘Umar. Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdullah bin Ummi maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.

Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.

Pada hari ke tiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pindahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.

Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.

Sumber

SOSOK SAHABAT ABU MUSA AL-ASY’ARI R.A




Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais. Beliau sempat ikut hijrah ke Abessina, kemudian datang ke Madinah setelah perang Khaibar. Khalifah Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai penguasa di Kufah. Beliau ini termasuk arbitrator dalam peristiwa arbitrasi Shiffin.

Salah seorang sahabat Rasulullah yang telah beliau do’akan dengan permohonan kepada Allah ampunan dan agar di hari kiamat dimasukkan kedalam tempat yang mulia adalah Abu Musa Al-Asy’ariy, sebagaimana do’a Rasulullah : ”Allahumaghfir li-’Abdillah bin Qais zanbahu, wa adkhilhu yauma al-qiyamati madkhalan kariimaa”.

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar bin Harb bin Aamir, dan terus sampai nasabnya pada Asy’ari bin Adad. Nabi memanggilnya dengan “Abdullah bin Qais” seperti dalam hadist yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah mengatakan kepadanya:

”ya Abdullah bin Qais, inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat dari perbendaharaan surga?” yaitu (la hawla wala quwwata illa billah)”. Dan juga pada hadist do’a Rasulullah yang telah disebutkan diatas tadi. Sedangkan julukan “Abu Musa” diambil dari nama salah salah satu anaknya.



Awal Masuk Islam Dan Kehidupannya Bersama Rasulullah.
Sebelum bertemu dengan Rasulullah di Mekkah ada kebimbangan pada dirinya untuk mencari rezeki dan bekerja dipasar-pasar dan musim-musim yang ada di Makkah, tetapi dengan kebimbangan inilah salah satu sebab masuknya ia ke dalam Islam, yaitu tatkala ia meninggalkan tanah leluhurnya Yaman, menuju Makkah dan mendengar bahwa di negeri ini ada seorang Rasul yang mengajak dan menghimbau kepada tauhid dan kepada Allah dengan sesuatu yang bisa diterima akal serta dengan akhlak yang mulia.

Maka ia berkenalan dengan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan lalu masuk Islam dengan aktif mengikuti pelajaran- pelajaran dari beliau menambah hidayah dan keyakinan. Ia masuk Islam diawal masa kenabian dan termasuk dalam golongan “Assabiquuna ila-l-Islam”, dengan dalil hijrahnya ia bersama-sama para muhajirin ke Habasyah setelah adanya tekanan dan kekerasan serta siksaan yang yang dilakukan orang–orang musyrik terhadap mereka. Kemudian selang beberapa waktu ia kembali ke negeri asalnya menyampaikan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga banyak dari kaumnya yang masuk Islam.

Pada waktu ia mendengar bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah, maka beliau menemui Rasulullah untuk bergabung bersama membangun suatu masyarakat baru yang Islami dan daulah Islamiyah. Rasulullah menyebut kaum yang dipimpin Abu Musa ini dengan nama “Al-Asy’ariyiin”. Mulai dari hari itu ia terus berpartisipasi dan berkecimpung bersama para mu’min dan muslimin menjadi sahabat dan murid Nabi dalam mengemban risalah Tuhan hingga akhir hayatnya.

Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki sifat-sifat mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan pemanah yang tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang faqih bijaksana yang memiliki otak brilian yang mampu dalam memecahkan beberapa macam problema serta memberikan cahaya penerang dalam masalah fatwa-fatwa dan pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu dari empat hakim ummat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Sya’biy, ”Qodhotu hazihi al-ummah arba’atun : Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu Musa”.

Dalam medan jihad, Abullah bin Qais memiliki rasa tanggung jawab yang besar dengan berlomba-lomba dalam kemulian, ia berani menaruhkan nyawanya sehingga ia digelari oleh Rasulullah sebagai “pemimpin prajurit-prajurit berkuda” sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Na’im bin Yahya At-Tamimiy, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, ”Saidu al-fawarisi, Abu Musa”.

Beliau pun telah mengikuti beberapa peperangan bersama Rasulullah dalam menghadapi orang-orang musyrik, diantaranya perang Tabuk. Dan setelah perang ini Nabi mengutusnya ke Yaman sebagai da’i dan mu’allim serta wali, juga diutus untuk mengajarkan Al-Quran bersama Mu’adz bin Jabal pada daerah yang berbeda, namun jaraknya tidak jauh sehingga antara keduanya tetap terjalin hubungan komunikasi.

Hal ini dilakukan Rasulullah ketika datang kepadanya utusan raja Hamir dari Yaman (Sepertinya Himyar; Aman). Lalu beliau memilih dari sahabat-sahabatnya yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan agama yang matang, maka diutuslah mereka berdua dan Malik bin ‘Ubadah dan beberapa sahabat lainnya. Ini merupakan suatu perhatian yang besar dari Rasulullah terhadap ahli Yaman.

Ibnu Hajar Al-’Asqalany mengatakan bahwa diutusnya Abu Musa ke Yaman dikarenakan kepintaran dan pemahamannya yang dalam terhadap Islam. Pada tahun ke 10 hijriyah, Abu Musa kembali dari Yaman menemui Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk melaksanakan haji, yang disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan). Rasulullah telah memberikan wewenang kepadanya untuk memberikan fatwa hingga wafatnya beliau bahkan hingga masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhuma. Ini semua menunjukkan akan kedalaman ilmu pengetahuannya dan ketaatannya kepada khalifah.

Ketika Rasulullah meninggal, yaitu bertepatan setelah tiga hari dibunuhnya “Al-Kadzdzab” ‘Abhalah ibnu Ka’ab Al-’Ansiy, seorang dukun yang mengaku sebagai nabi di Yaman. Hal ini merupakan cobaan yang besar bagi Abu Musa yang ketika itu berada di sana, setelah pulangnya dari haji wada’.



Kehidupan Abu Musa Setelah Wafatnya Nabi.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ia ditetapkan untuk menjadi wali di Yaman. Dan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Abu Musa telah berhasil mengatur administrasi wilayah Bashrah, juga berhasil didalam memimpin pasukan militernya. Merupakan suatu rahmat yang besar dari Allah terhadapnya dengan pertolongan-pertolongan-Nya melalui tangannya, sehingga ia mampu menaklukkan beberapa kota dan negeri, dan telah dimenangkan Allah dalam memerangi pemimpin-pemimpin “daulah Al-Farisiyah” dengan kecerdikkan dan ketajaman pemikirannya.

Pada akhir tahun 23 hijrah Amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu meninggal terbunuh sebagai syahid, dan Abu Musa ketika itu sedang berada di Bashrah mengajar dan berjuang menyampaikan dakwah kepada Allah , namun walaupun demikian beliau telah mengetahuinya melalui ru’yah yang merupakan karamah yang telah Allah berikan kepadanya, sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad di Thabaqat dengan sanadnya dari Abu musa (lih. Hayatu As- Shohabah juz; 3 hal; 666).

Setelah dibai’atnya khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau menbetapkan Abu Musa sebagai wali di Bashrah selama enam tahun, setelah lepas dari amanat ini banyak sekali cobaan-cobaan fitnah dan tantangan yang ia hadapi dalam menyampaikan syariat dan risalah Ilahi hingga masa kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu dan berakhir pada akhir hayatnya yaitu pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.



Budi Pekerti Dan Sifat-Sifatnya Yang Mulia

Beberapa kelebihan budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia yang ada pada diri Abu Musa sudah diakui oleh Rasulullah sendiri hingga beliau mendo’akannya dan mengajarkan kepadanya perbendaharaan surga. Ini semua jelas karena budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia, mulai masa hidupnya bersama dengan para khulafa ar-rasyidiin hingga wafatnya.

Beliau amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara’, memiliki sifat pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya. Adz-Dzahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah seorang qari’ yang memiliki suara yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah didalam membaca dan memahami Al-Quran.”

Disamping sebagai seorang yang memiliki ‘izzah yang besar dalam menuntut ilmu, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat-sahabat, beliau juga mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu kepada orang lain, mengamalkan sabda Rasulullah , ”Khairukum man ta’allama Al-Qurana wa ‘allamahu” (H.R. Bukhari).

Dengan segala kemampuannya beliau mengajarkan Al-Quran dan memberikan penjelasan kepada ummat di setiap daerah yang didatanginya, dibantu dengan bacaan dan suaranya yang indah ketika membaca Al-Quran, dapat menarik perhatian masyarakat sekitarnya hingga berkumpul mengelilinginya. Dikarenakan banyaknya penuntut ilmu yang hadir, maka ia membagi mereka menjadi beberapa kelompok halaqah pengajian ilmu pengetahuan agama, seperti yang pernah ia lakukan di masjid Bashrah. Abu Musa juga memiliki perhatian yang besar dalam pengajian sunnah dan riwayat-riwayatnya, serta sangat berpegang teguh terhadap sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ia telah sampaikan nasehat kepada anak-anak dan keluarganya ketika ajal mendatanginya.



Wafatnya
Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu musa radhiyallahu ‘anhu. Kebanyakan dari perkataan mereka, tidak lebih dari tahun empat puluhan dari tahun hijrah, diantaranya pendapat Ibnu Al-Atsir mengatakan, ”Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di Makkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada waktu itu beliau berumur 63 tahun.” Sebagaimana Adz-Dzahaby juga membenarkan bahwa beliau wafat pada bulan zulhijjah tahun 44 hijrah, Allahu A’lam.

Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan nasehat buat anak-anak dan keluarganya agar selalu beriltizam terhadap sunnah Nabi . Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap keluarganya dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai pada keturunan-keturunannya menjadi ulama, qadhi dan perawi hadist, yang merupakan berkah dari do’a Rasulullah yang diterimanya dan berkah keikhlasannya.

Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang ahli ibadat, wara’, mujahid dan faqih, semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita dalam melangkah tuk mencapai ridha-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan Iman dan Islam. Amin.

“Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan wala taj’al fi- quluubina ghillan lil-laziina a-manu Rabbana innaka Raufu-r- Rahiim”.

Sumber

MASUK SYURGA DAN NERAKA KARENA SEEKOR LALAT




Di sebagian kalangan di negeri kita masih saja melestarikan budaya sesajian. Pada waktu tertentu, ada yang menaruh sesaji berupa kepala kerbau. Ada pula yang dengan tumbal yang dilarung di laut atau telaga. Semua ini masih terus lestari. Padahal kalau ditinjau ritual sesaji ini adalah ritual syirik. Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah berikut ini. Hanya karena sesajinya berupa seekor lalat, membuat ia masuk neraka. Sebaliknya ada yang enggan untuk sesaji sampai ia dipenggal lehernya, malah membuatnya masuk surga.

Berikut kisah dua orang orang yang masuk neraka karena lalat dan masuk surga juga karena lalat,
Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah.” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka. Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.”

Status hadits:
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az Zuhud hal. 15, dari Thoriq bin Syihab dari Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 1: 203, Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya 6: 477, 33028. Hadits ini mauquf shahih, hanya sampai sahabat. Lihat tahqiq Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal. 49, terbitan Darus Salam.

Al Hadizh mengatakan bahwa jika Thoriq bertemu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka ia adalah sahabat. Kalau tidak terbukti ia mendengar dari Nabi, maka riwayatnya adalah mursal shohabiy dan seperti itu maqbul atau diterima menurut pendapat yang rojih (terkuat). Ibnu Hibban menegaskan bahwa Thoriq wafat tahun 38 H. Lihat Fathul Majid, hal. 161, terbitan Darul Ifta’.

Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan bahaya syirik walau pada sesuatu yang dinilai kecil atau remeh.

2- Jika sesaji dengan lalat saja bisa menyebabkan masuk neraka, bagaimana lagi dengan unta, atau berqurban berkorban untuk mayit atau selain itu?!

3- Hadits tersebut menjadi pelajaran bahwa sesaji yang biasa dilakukan oleh sebagian orang awam di negeri kita adalah suatu kesyirikan.

4- Syirik menyebabkan pelakunya masuk neraka sedangkan tauhid mengantarkan pada surga.

5- Seseorang bisa saja terjerumus dalam kesyirikan sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut syirik yang menyebabkan dia terjerumus dalam neraka nantinya.

6- Hadits tersebut juga menunjukkan bahayanya dosa walau dianggap sesuatu yang kecil. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kalian mengamalkan suatu amalan yang disangka ringan, namun kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai suatu petaka yang amat besar.”

7- Orang tersebut masuk neraka karena amalan yang awalnya tidak ia maksudkan, ia hanya ingin lepas dari kejahatan kaum yang memiliki berhala tersebut.

8- Seorang muslim yang melakukan kesyirikan, batallah islamnya dan menyebabkan ia masuk neraka karena laki-laki yang diceritakan dalam hadits di atas adalah muslim. Makanya di dalam hadits disebutkan, “Seseorang masuk neraka karena lalat”. Ini berarti sebelumnya dia adalah muslim.

9- Yang jadi patokan adalah amalan hati, walau secara lahiriyah amalan yang dilakukan terlihat ringan atau sepele.

10- Hadits ini menunjukkan bahwa sembelihan, penyajian tumbal, sesaji adalah ibadah. Jika ada yang memalingkan ibadah tersebut pada selain Allah, maka ia terjerumus dalam syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam.

11- Hadits di atas menunjukkan keutamaan, keagungan dan besarnya balasan tauhid.

12- Hadits tersebut juga menunjukkan keutamaan sabar di atas kebenaran dan ketauhidan.

Semoga kisah di atas membuat kita semakin paham akan bahaya syirik dan pentingnya mengesakan Allah dalam ibadah. Tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, tentu harus ditinggalkan apalagi jika sampai membuat Allah murka dan membuat kita terjerumus dalam neraka. No way to SYIRIK!

Wallahul muwaffiq.

Sumber

KISAH AL-JASSASAH (MATA-MATA) DAN DAJJAL




Diriwayatkan dari Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi, bahwa ia pernah bertanya kepada Fathimah binti Qais Radhiyallahu Anha, “Beritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan janganlah engkau beritakan kepada orang lain.’ Fathimah menjawab, ‘Jika engkau berkehendak, saya akan memberitahukannya kepadamu.’ Amir berkata, ’Tentu aku sangat ingin mengetahuinya, beritakanlah kepadaku.’ Fathimah berkata, ‘Suatu hari aku mendengar suara muadzin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melaksanakan shalat berjamaah, maka aku pun berangkat ke masjid dan shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Aku shalat pada shaf wanita yang ada di belakang kaum laki-laki. Ketika shalat sudah selesai, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di mimbar sambil tersenyum, lalu beliau bersabda, “Hendaklah setiap orang tetap berada di tempat shalatnya.”

Kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian kenapa aku mengumpulkan kalian?”

Para shahabat menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengumpulkan kalian bukanlah untuk suatu kabar gembira atau kabar buruk, akan tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari, yang dahulunya seorang laki-laki pemeluk agama Nasrani kini telah memeluk Islam dan berbai’at kepadaku. Ia telah mengatakan sesuatu yang pernah aku katakan kepada kalian tentang Al-Masih Dajjal. Ia mengisahkan perjalanannya kepadaku bahwa ia berlayar dengan sebuah kapal laut bersama 30 orang laki-laki dari kabilah Lakham dan Judzam. Kemudian mereka terombang-ambing oleh ombak selama satu bulan. Hingga mereka terdampar di sebuah pulau di tengah laut di daerah tempat terbenamnya matahari. Lalu mereka istirahat di suatu tempat yang dekat dengan kapal.

Kemudian, mereka mendarat di pulau tersebut dan bertemu dengan seekor binatang yang berbulu lebat, sehingga mereka tidak dapat memperkirakan mana ekornya dan mana kepalanya, karena tertutup oleh bulunya yang terlalu banyak.

Mereka berkata, ”Celaka, dari jenis apakah kamu ini.”

Ia menjawab, ”Saya adalah Al-Jassasah.”

Mereka bertanya, ”Apakah Al-Jassasah itu?”

Tanpa menjawab pertanyaan mereka, lalu ia berkata, ”Wahai orang-orang, lihatlah seorang laki-laki yang berada di rumah terpencil itu. Sesungguhnya ia sangat ingin mendengarkan informasi dari kalian!”

Tamim Ad-Dari berkata, ”Ketika ia menjelaskan kepada kami tentang laki-laki itu, kami pun terkejut karena kami mengira bahwa ia adalah setan. Lalu kami segera berangkat sehingga kami memasuki rumah tersebut, di sana terdapat seorang manusia yang paling besar (yang tidak pernah kami lihat sebelumnya) dalam keadaan terikat sangat kuat. Kedua tangannya terikat ke pundaknya, serta antara dua lutut dan kedua mata kakinya terbelenggu dengan besi.”

Kami berkata, ”Celaka, siapakah kamu ini?” Ia menjawab, ”Takdir telah menentukan bahwa kalian akan menyampaikan informasi kepadaku, maka kabarkanlah kepadaku siapakah kalian ini?”

Mereka menjawab, ”Kami adalah orang-orang Arab yang berlayar dengan sebuah kapal, tiba-tiba kami menghadapi sebuah laut yang berguncang, lalu kami terombang-ambing di tengah laut selama satu bulan, dan teradamparlah kami di pulau ini. Lalu kami duduk di tempat yang terdekat dengan kapal, kemudian kami masuk pulau ini, maka kami bertemu dengan seekor binatang yang sangat banyak bulunya yang tidak dapat diperkirakan mana ekor dan mana kepalanya karena banyak bulunya.

Maka kami berkata, “Celaka, apakah kamu ini?”

Ia menjawab, ”Saya adalah Al-Jassasah.”

Kami bertanya, ”Apakah Al-Jassasah itu?”

Tanpa menjawab pertanyaan kami, ia berkata, ” Wahai orang-orang, lihatlah seorang laki-laki yang berada di rumah terpencil itu. Sesungguhnya ia sangat ingin mendengarkan informasi dari kalian!”

Lalu kami segera menuju tempat kamu ini dan kami terkejut bercampur takut karena mengira bahwa ia adalah setan.”

Laki-laki besar yang terikat itu mengatakan, ”Beritakanlah kepada saya tentang pohon-pohon kurma yang ada di daerah Baisan?”[1]

Kami bertanya, ”Apa yang ingin kamu ketahui tentangnya?”

Ia berkata, ”Saya menanyakan apakah pohon-pohon kurma itu berbuah?”

Kami menjawab, “Ya.”

Ia berkata, “Adapun pohon-pohon kurma itu maka hampir saja tidak akan berbuah lagi.”

Kemudian ia mengatakan, ”Beritakanlah kepadaku tentang danau Tiberia.”

Mereka berkata, ”Apa yang ingin kamu ketahui tentangnya?”

Ia bertanya, ”Apakah ia masih tetap berair?”

Mereka menjawab, “Airnya masih banyak.”

Ia berkata, “Adapun airnya, maka hampir saja akan habis.”

Kemudian ia berkata lagi, “Beritakanlah kepada saya tentang mata air Zugar.”[2]

Mereka menjawab, “Apa yang ingin kamu ketahui tentangnya?”

Ia bertanya, ”Apakah di sana masih ada air dan penduduk di sana masih bertani dengan menggunakan air dari mata air Zugar itu?”

Kami menjawab, “Benar, ia berair banyak dan penduduknya bertani dari mata air itu.”

Lalu ia berkata lagi, “Beritakanlah kepadaku tentang nabi yang ummi (tidak bisa tulis baca), apa sajakah yang sudah ia perbuat?”

Mereka menjawab, “Dia telah keluar dari Makkah dan bermukim di Yatsrib (Madinah).”

Lalu ia bertanya, “Apakah ia diperangi oleh orang-orang Arab?”

Kami menjawab, “Ya.”

Ia bertanya, “Apakah yang ia lakukan terhadap mereka?”

Maka kami memberitahukan kepadanya bahwa Nabi itu telah menundukkan orang-orang Arab yang bersama dengannya dan mereka menaatinya.”

Lalu ia berkata, “Apakah itu semua telah terjadi?”

Kami menjawab, “Ya.”

Ia berkata, “Sesungguhnya adalah lebih baik bagi mereka untuk menaatinya dan sungguh aku akan mengatakan kepada kalian tentang diriku. Aku adalah Al-Masih Dajjal, dan sesungguhnya aku hampir saja diizinkan untuk keluar. Maka aku akan keluar dan berjalan di muka bumi dan tidak ada satu pun negeri kecuali aku memasukinya dalam waktu 40 malam selain Makkah dan Thaibah, kedua negeri itu terlarang bagiku. Setiap kali aku ingin memasuki salah satu dari negeri itu maka aku dihadang oleh malaikat yang ditangannya ada pedang berkilau dan sangat tajam untuk menghambatku dari kedua negeri tersebut. Dan di setiap jalan-jalan yang ada di kota Madinah terdapat malaikat yang menjaganya.”

Fathimah berkata, ”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda sambil menghentakkan tongkatnya di atas mimbar, ”Inilah Thaibah, inilah Thaibah, inilah Thaibah (maksudnya kota Madinah). Bukankah aku sudah menyampaikan kepada kalian tentang hal itu?” Para shahabat menjawab, ”Benar.” Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Tamim Ad-Dari, karena ia bersesuaian dengan apa yang pernah aku sampaikan kepada kalian tentang dia (Dajjal) dan tentang Madinah dan Makkah. Ketahuilah, tempatnya (Dajjal) terletak di laut Syam atau laut Yaman. Ia datang dari arah timur, dari arah timur, dari arah timur.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisayaratkan tangannya ke arah timur. Fathimah berkata, “Hadits ini yang saya hafal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

HR. Muslim

___________________________

[1] Baisan merupakan kota yang terletak di sebuah lembah yang berada di sebelah barat telaga Yordan, tepatnya di sebelah barat daya Tiberia.

[2] Zugar adalah salah satu desa di negeri Syam yang terletak di daerah pantai laut mati. Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Zugar adalah mata air yang ada di negeri Syam yang berada di tanah yang subur.” Sebagian pendapat ada yang menyebut laut mati dengan danau zugar, yang disandarkan kepada oasis yang ada di dekat laut itu.

Sumber